Breaking The Wall

Saya mengikuti sebuah acara konsolidasi dari Pusat Riset Koperasi, Korporasi dan Ekonomi Kerakyatan di Cibinong, Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Soekarno beberapa waktu lalu. Plt Sestama menyampaikan kata sambutan dan acara dibuka oleh Prof Alie Humaedi. Plt Sestama bu Nur menyampaikan perkembangan BRIN, yang sudah selesai melakukan fase integrasi riset dan organisasi makin menguat. Tentu ada tantangan di sana dan di sini, karena banyak pihak yang “menchalange” UU Sistenas dan Perpres 78/2021. Apapun tantangan itu, BRIN siap untuk menjalankan takdirnya sebagai lembaga yang diamanahi oleh negara untuk melaksanakan riset dan inovasi.

Untuk mendapatkan pelajaran dari lembaga lain yang juga menjalankan reformasi birokrasi dan menghadapi era disrupsi tanpa ampun ini, kita beruntung Helmi Yahya bersedia berbagi pengalamannya ketika memimpin TVRI. Saya tidak mendapatkan file presentasinya, namun ada presentasi yang mirip pada link youtube di bagian akhir tulisan. Tentu seru mendengar pemaparan Helmi Yahya, sebuah materi mahal. Daging semua, menyitir kalimat yang sering dipakai oleh beliau.

Saat menjadi Direktur Utama TVRI, terungkap permasalahan yang sudah menumpuk berpuluh-puluh tahun. Sebuah mission impossible. Bahkan abangnya, Tantowi Yahya sempat melarang beliau untuk ikutan biding jadi Direktur TVRI karena ruwetnya permasalahan. Namun Helmi Yahya bersikeras, saatnya dia mengabdi untuk bangsa, terutama TVRI, sebuah institusi yang beliau banggakan.

Permasalahan TV nasional ini ada di semua sisi, mulai dari SDM yang jadul, peralatan kuno sampai anggaran minim. Dari mana memulai memperbaiki organisasi yang tampaknya mustahil diperbaiki ini? nah, silahkan baca bukunya untuk mempelajari tahap demi tahap, dan saksikan pemaparannya di link youtube di bagian bawah tulisan.

Secara garis besar, beliau memetakan dan mengelompokkan permasalahan serta mencari solusinya. Ada 5 kelompok solusi yang ditawarkan melingkupi reformasi birokrasi, tata kelola keuangan, content and rebranding, peningkatan penerimaan pnbp (penerimaan negara bukan pajak) dan modernisasi peralatan penyiaran dan pemancar.

Menurutnya, TVRI dapat menjangkat sekitar 70an juta pemirsa, karena tower TVRI tersebar di seluruh penjuru Indonesia bahkan tempat terpencil yang tidak terjangkau oleh stasiun TV lainnya. TV swasta terbesarpun, hanya menjangkau 20an juta pemirsa. Dari angka2 ini terlihat, ada pihak2 yang berkepentingan agar TVRI dalam kondisi dorman. Hidup segan, mati pun tak mau. Tangan dingin dan kepemimpinan Helmi Yahya, dapat mengangkat rating TVRI dari papan paling bawah di urutan 16, menjadi urutan 8 dalam waktu 2 tahun, saat beliau dipecat dengan intrik-intrik yang aduhai. Ngeri ya?! Bayangkan kalau TVRI dipegang oleh Helmi Yahya selama 5 tahun…. hmmmm iklan-iklan bisa tersedot sebagian besar ke TVRI.

Dalam pemaparannya, beliau tidak menceritakan aspek politis dari peristiwa pemecatannya. Siapa dan mengapa. Tentu kejadian ini disesali oleh banyak pihak. Disitulah serunya dinamika dalam bernegara.

Lesson learned dari peristiwa reformasi di TVRI, sampai pemecatan Helmi Yahya perlu diperhatikan oleh civitas BRIN. BRIN sebagai sebuah organisasi, mendapat tantangan luar biasa (atau sebenarnya biasa-biasa saja ya?!). Tidak semua pihak senang dengan pelaksanaan UU Sistenas dan Perpres 78/2021. Contoh kongkrit, dari anggarat riset, menurut perhitungan awal seharusnya ada sekitar 24 T. Setelah proses integrasi selesai, anggaran BRIN tersedia sekitar 7 T. Ada beberapa asset riset yang tidak dialihkan ke BRIN. Apa dan bagaimana anggaran yang 24 T tersebut? lalu mengapa simpangan bakunya cukup besar sehingga BRIN hanya menerima 7 T?. Tentu ini ranah politik untuk menjawabnya. Bukan BRIN, karena BRIN hanya menerima pengalihan saja. Apapun yang diberikan oleh negara, civitas BRIN merasa bersyukur dan jalan terus serta mengoptimalkan potensi anggaran, asset dan SDM yang ada pasca integrasi. Civitas BRIN tidak mengurus ranah politik (walau ada riset tentang politik 🙂 , bukan itu konteksnya). Ranah politik sudah ada yang urus. Kami fokus untuk menghasilkan riset dan inovasi untuk bangsa dan negara.

Toh dengan anggaran yang ada, fasilitas riset dapat dibangun dimana-mana. Riset dapat terus dilakukan. Banyak skema internal dan eksternal. Salah satunya skema riset dan inovasi untuk Indonesia maju (RIIM) dari LPDP. Alhamdulillah team riset yang saya ikuti lolos pendanaan riset batch 2, cukup untuk pendanaan riset 3 tahun ke depan. Batch ketiga baru saja tutup, yang sak deg sak nyet tutup di hari terakhir pukul 16 🙂 Selalu ada drama memang ketika kita submit di hari terakhir. Untuk skema-skema lainnya bisa dilihat di situs https://pendanaan-risnov.brin.go.id/.

Tentu ada beberapa permasalahan-permasalahan saat pelaksanaan kegiatan, seperti kita kekurangan tenaga administrasi untuk melakukan pencairan dana dan tertib keuangan. Secara, 2500 tenaga administrasi melayani sekitar 12 ribut periset 😉 Jumlah tenaga administrasi tersebut sudah mencakup bagian sumberdaya manusia, pengurus kawasan riset, kawasan lab, perpustakaan, pool kendaraan, IT, arsip aris sampai keuangan. Bisa dibilang, kami semua overload kerja karena proses integrasi ini, namun senang karena kami memilih untuk tetap jadi peneliti secara sadar, berdasarkan data dan fakta serta informasi yang kami peroleh dengan susah payah. Saya pun tidak sempat menulis blog karena mengejar deadline demi deadline riset.

Dan saya cukup bangga melihat rekan-rekan saya sesama periset, kita sudah berjalan extra miles. Dalam waktu 4 bulan ini, pasca bergabung dengan BRIN, riset dan inovasi yang dihasilkan sudah berlipat ganda dibandingkan masa-masa sebelumnya. Buku, paten, karya tulis ilmiah nasional dan internasional dihasilkan melalui kerja keras dan cerdas kolaborasi. Chemistry makin terbangun, ide dan imaginasi yang kadang liar pun mulai diwujudkan secara nyata. Stay relevant.

One thought on “Breaking The Wall

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.