Science for Nation

“Jadi, kita hanya akan menghasilkan tumpukan paper dan paten?!”, kolegaku bertanya.

“Oh, tentu tydaq!” jawabku….. “itu science for science… hanya bagian awal saja dari perjalanan panjang kita. Ada satu lagi, yaitu science for nation!”, lanjutku menjelaskan panjang kali lebar, agar kolegaku lebih paham, apa yang sedang kita kerjakan di BRIN.

Dan Senin pagi kemarin, penjelasan yang sama, juga diberikan saat apel pagi oleh Mego Pinandito, Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan. Tema yang diangkat adalah Peran dan Kontribusi BRIN dalam Pembangunan Nasional. Kisah dimulai dari Forum Komunikasi Riset dan Inovasi (FKPRI). FKPRI dilaksanakan untuk pertama kalinya tanggal 22-26 November 2021. Forum ini menjadi penting untung menjaring kebutuhan riset dan inovasi dari Kementerian/ Lembaga, Pemda, Industri dan siapapun yang membutuhkan riset dan inovasi. Jadi, para pemangku kepentingan terlibat dari awal proses riset dan inovasi. Tidak boleh lagi periset menghasilkan riset dan inovasi yang tidak diperlukan dan tidak diminta oleh pihak lain. Hanya menghambur-hamburkan anggaran dan waktu saja.

Nah, sekarang kita masuk ke bisnis prosesnya. Kebutuhan-kebutuhan riset dan inovasi tersebut, kemudian dicari data dan faktanya oleh periset, untuk menghasilkan output berupa paper ilmiah akreditasi global dan nasional, paten, pelepasan varietas, rancangan undang-undang/peraturan/perda. Tahap ini adalah science for science. Tidak ada pihak yang bisa intervensi, merupakan wewenang penuh periset. Disini, adu metode, data dan fakta yang terjadi. Bukan asumsi atau keinginan sepihak. Pembuktian ilmiah yang berlaku. Bisnis proses science for science sedikit saya paparkan disini, mengenai berakhirnya riset di era litbang. Bisnis proses science for science ini melibatkan dan hasil kolaborasi antar Organisasi Riset dan Kedeputian di dalam BRIN. Tidak ada lagi sekat antar unsur. Nomenklatur yang ada merupakan batas imaginer dan virtual, tidak ada sekat secara fisik lagi. Pertanyaan “Kamu ngantor dimana??” akan sulit untuk kami jawab 🙂

Sudah berakhir tugas periset? belum….. mesin baru panas….. ibarat senjata, kita baru menghasilkan peluru. Sekarang, agar pelurunya bisa kena ke sasaran, perlu senapan dan orang untuk menembakkannya ke sasaran.

Senjatanya apa? sekarang kita masuk ke fase berikutnya, yaitu standardisasi dan sertifikasi produk dan jasa. Produk dan jasa hasil riset dan inovasi tersebut harus bisa diproduksi secara massal oleh pihak lain. Nah, mungkin hanya 2 dari 10 hasil riset yang dapat mencapai tahap ini. Delapan lainnya kemungkinan besar akan layu sebelum berkembang. Sangat normal. Kenapa bisa begitu? bisa jadi karena riset dan inovasi yang dihasilkan masih belum matang, terlalu maju untuk masanya, terlalu mahal, tidak praktis dan lain-lain, bisa panjang listnya.

Contoh konkrit, dalam sebuah diskusi dalam grup riset yang saya ikuti, team menghasilkan prototipe mesin roasting kopi. Pengembangan sudah sampai tahap komersialisasi dengan pihak mitra, serah terima lisensi. Dan ternyata, di tahap ini pun rumit. Agar dapat sertifikasi, mesin harus memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sekian persen. Tanpa TKDN sekian persen sesuai regulasi, sertifikasi tidak akan didapatkan. Ini menjadi pembelajaran bagi kami, jadi kami sekarang sudah memasukkan paramater TKDN tersebut mulai dari rancangan penelitian, sampai ke bentuk prototipe.

Untuk sertifikasi dan standardisasi, dalam hal ini mesin-mesin pertanian, team sudah bekerja bersama semenjak lama dengan Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri, Kementerian Perindustrian yang tersebar di beberapa wilayah. Balai-balai tersebut sudah eksis puluhan tahun, bahkan Balai Besar Industri Agro yang ada di Bogor, sudah beroperasi dari 1909. BBIA menangani akreditasi 193 komoditas seperti komoditas SNI Wajib pangan, produk pangan (makanan, minuman, bahan baku pangan), dan produk non pangan (air, limbah, pupuk dan pakan). Lengkap. Meliputi lebih dari 300 parameter uji seperti proksimat, mineral, alkohol (GC), identifikasi Fe, identifikasi DNA babi, vitamin (A, β-caroten, B1, B2, B6, asam folat, C, D, E), perhitungan label nutrisi (nutrition fact), kolesterol, serat pangan, komposisi asam lemak (lemak jenuh dan tak jenuh, AA, DHA, EPA, Omega3, 6 dan 9), cemaran pangan (mikrobiologi, logam berat, PAH dan mikotoksin), bahan tambahan pangan (pengawet, pemanis, pewarna dan antioksidan), kualitas AMDK (termasuk uji bromate), analisis limbah cair dan swab test.

Wah… wah… lengkap ya produk yang diuji SNI nya, dari hulu ke hilir?! Untuk mencapai kualitas pengujian dan bisa dipercaya oleh klien, tentu Balai-balai di Kementerian Perindustrian tersebut sudah berproses puluhan tahun, bukan sehari dua hari saja. Sebelum bisa menstandardisasi klien, Balai harus distandardisasi dulu mulai dari organisasi, sistem manajemen, lab, sampai personel sumberdaya manusianya. Tentu tidak mudah, fergusso….. 😉

Akan menarik potensi kolaborasi antara Baristand Industri dengan BRIN di masa mendatang. Tentu kita periset di BRIN akan membutuhkan Baristand Industri untuk menguji output riset yang akan dilisensikan ke mitra. Sebagai catatan, yang akan melakukan permohonan pengujian dan standardisasi adalah mitra yang akan memasarkan produk tersebut, tentu dengan pendampingan kedeputian dan periset BRIN.

Di tahap ini, peran periset tetap ada, paling tidak 30% lah. Periset harus tetap mendampingi sampai produk mendapat sertifikasi, namun segala tetek bengek perjanjian, lisensi dan hal-hal administrasi, dikerjakan oleh kedeputian BRIN dan mitra. Enak toh? peneliti fokus saja ke riset dan inovasi.

Kalau tahap sertifikasi ini tembus, tentu tahap berikutnya adalah memasarkan produk dan jasa untuk menghasilkan cuan. Ya mungkin, dari 10 produk yang dipasarkan, bisa jadi hanya 2-3 saja yang berhasil di pasaran. Disini periset tetap wajib terlibat. Periset harus tahu, apa yang membuat produknya laku atau tidak laku, apa keluhan atau masukan dari konsumen, sehingga semua output riset akan kembali lagi menjadi input riset berikutnya. Perbaikan terus menerus agar produk kita bisa setara dengan made in Japan dan made in Germany.

Nah, inilah science for nation…. fiuhhh panjang betul ceritanya…… Harapannya adalah, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk riset, akan menghasilkan 10 kali lipat bagi ekonomi masyarakat. Ini yang menjadi salah satu fokus BRIN. Hasil riset dan inovasi berupa produk dan jasa tersebut harus bernilai ekonomi bagi mitra, yaitu para pelaku usaha. Jika produk dan jasa tersebut berjalan, akan membuka lapangan pekerjaan, keuntungan perusahaan masuk kembali ke negara melalui pajak. Ini yang kita inginkan toh? Kesejaheraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Seperti yang disampaikan Bung Karno, Presiden pertama RI, pada pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso! (Tavip) mengenai konsep Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagai bentuk revolusi suatu bangsa. Trisakti akan tercapai kalau kita bisa memproduksi barang sendiri, tidak tergantung barang impor.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.